Senin, 12 Desember 2011

moralitas dalam bisnis

Krisis kepercayaan terhadap bisnis perbankan saat ini sampai pada titik puncak. Kasus-kasus perbankan terkini ibarat puncak gunung es bobrok perbankan selama ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkann secara nyata kepada kita betapa bisnis perbankan penuh dengan corengan hitam immoralitas. Tentu masih segar diingatan kita tentang megaskandal bank century senilai 1,6 triliun rupiah yang sampai saat ini tidak jelas ujungnya. Dua minggu belakang dunia perbankan kembali tercoreng lewat dua skandal yang tak kalah besarnya yakni kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank yang diduga akibat aksi kekerasan debt collector (penagih utang) dan kasus “private banking” oleh Inong Malinda Dee pada bank yang sama.

Kasus terakhir ini memang masih dalam proses hukum, namun kasus dilakoni oleh senior relationship manager bank asing ini disinyalir telah menggelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah dengan bukti-bukti yang amat jelas, yakni sejumlah apartemen di jantung segi tiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lebih dari itu, kasus ini disinyalir tidak hanya terkait dengan masalah “privat banking” biasa, lebih jauh dari itu kasus ini juga terindikasi pencucian uang (money laundering) dan tidak tertutup kemungkinan kejahatan perbankan lainnya juga ikut serta bersamanya.

Menganalisis kasus-kasus perbankan yang terjadi, tentu banyak perspektif yang dapat diajukan terutama dari segi hukum perbankan. Dalam kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank (Irzen Octa) misalnya, benar bahwa setiap utang harus dibayar namun tentu caranya bukan dengan perbuatan melawan hukum dan perbuatan biadab. Dalam kasus megaskandal bank Century, banyak perspektif yang dapat diajukan dari mulai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak bank hingga aspek politik tingkat tinggi yang juga sangat kental mengitarinya. Sedangkan dalam masalah private banking lain lagi, dari mulai pelanggaran prosedur perbankan yang dinilai sebagai pelayanan istimewa kepada nasabah tertentu, sampai kepada kemungkinan terjadinya potensi pencucian uang (money laundering).

Terlepas dari berbagai perspektif yang dapat kita ajukan prihal problematika perbankan saat ini, namun yang penting ditegaskan bahwa persoalan moralitas adalah kunci utama penyebab hal ini semua. Sebaik apapun sistem, regulasi atau prosedur yang diterapkan dalam bisnis ini, moralitas pelaku bisnis adalah kunci segalanya.

Karena itulah, dalam bisnis (bahkan seluruh dimensi-dimensi kehidupan berdasarkan syariah) meniscayakan moralitas sebagai dasarnya. Moralitas atau akhlak (jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan antara moralitas dan akhlak, dalam tulisan ini disamakan) adalah prasyarat dalam menjalankan semua aktivitas dimensi kehidupan termasuk dalam bisnis.

Dalam khazanah sistem pendidikan dan dakwah, Rasulullah Saw. menyiapkan landasan moral lebih lama ketimbang sistem ibadah, hukum, sosial, tata negara dan seterusnya. Dari 23 tahun masa tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad Saw., 13 tahun pertama dihabiskan untuk menyiapkan landasan moral yang berlandaskan tauhid. Sampai-sampai penataan ibadah (dalam artian ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat) hanya ditata pada 10 tahun terakhir masa kerasulan.

Hal ini menunjukkan, dalam perspektif Islam bahwa landasan akhlak inilah yang menjadi kunci sukses-tidaknya seluruh dimensi kehidupan manusia. Shalat yang sangat berdimensi ibadah sekalipun dapat “dikorupsi” oleh orang yang tidak berakhlak, apakah dari segi waktu, substansi bahkan pelaksanaannya sendiri. Demikian pentingnya kedudukan akhlak dalam menata kehidupan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar