Senin, 05 Desember 2011

MEMPERTEGAS PESAN MORAL

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
(Q.S. Al Ahzaab [33]: 21).

Rasulullah SAW bersabda: ”sesungguhnya aku diutus untuk menyenpurnakan akhlaq.” Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Allah mengutus nabi Muhammad SAW adalah untuk menegakkan akhlaq. Dari sini dapat ditarik sebuah pemahaman yang lebih luas bahwa Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya tidak lain adalah untuk menegakkan akhlaq atau moral manusia. Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci. Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi terakhir dituntun dan dibantu dengan Al-Quran sebagai panduan yang dalam konteks ini adalah sebagai kitab pokok tuntunan moral, bukan karya ilmiah, bukan juga kitab hukum, tidak juga kitab politik, pun juga bukan kitab ekonomi dan lain sebagainya. Bahwa ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah tersebut, hanyalah prinsip-prinsip dasar yang harus dikembangkan oleh manusia sendiri yang dikaruniai akal. Pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan tersebut harus dilakukan sesuai dengan pesan moral agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.
Adanya ayat-ayat hukum misalnya, ia dicantumkan sebagai ajaran untuk ditegakannya hukum yang pada dasarnya adalah sebagai pengawal nilai moral yang ada dalam Alqur’an. Dengan adanya aturan-aturan hukum maka manusia diharapkan dapat menegakkan keadilan yang merupakan ajaran moral yang universal. Sebagai perangkat untuk menciptakan keadilan, hukum, sebagaimana dinyatakan oleh H.L.A. Hart dalam General Theory of Law and State (1965), harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan. Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral, demikian dikatakan juga oleh Jeffrie Murphy dan Jules Coelman dalam The Philosophy of Law (1984).
Hukum adalah jaring terluar sebagai pengawal moral, artinya, minimal manusia menjalankan yang diperintahkan oleh hukum dan meninggalkan hal yang dilarangnya. Adapun maksimal adalah tidak terbatas, yaitu menjalankan moral-moral yang terekam dalam barisan ayat-ayat Alqur’an dan Sunnah. Oleh karena itu wajar bila ada yang mengatakan bahwa apabila masyarakat sudah bermoral maka ia tidak memerlukan hukum, karena moral lebih tinggi dari hukum. Demikian juga dalam masalah-masalah lainnya, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
Islam sebagai agama moral sudah kaya akan konsep-konsep, baik terkait dengan ketuhanan maupun kemanusiaan, konsep relasi yang sehat secara vertikal dan horizontal; seperti konsep tauhid, keadilan, persamaan, toleransi, sampai yang terkait dengan kebersihan. Konsep-konsep ini diturunkan dan disyariatkan adalah sebagai ajaran moral demi terciptanya relasi yang sakral vertikal antara manusia dengan Tuhannya dan relasi harmonis, dinamis, dan konstruktif fungsional horizontal yang profan antara manusia dengan manusia, serta dengan seluruh makhluk di muka bumi ini. Kedua relasi ini harus berjalan secara seimbang, karena kalau tidak maka manusia akan merasakan kehinaan.  Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imran [3] ayat 112:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia.
Melihat fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan sehari-hari kita Islam seolah tidak mempunyai konsep-konsep yang indah ini. Lalu apakah konsep hanya sekedar konsep yang hanya tertulis dalam kertas? Atau apakah pada dasarnya umat Islam sudah memahami konsep tersebut, akan tetapi membiarkannya mengendap dalam alam pikirannya dan bersemayam di dalam kantongnya? Atau kita sudah memahaminya dan melaksanakannya tapi hanya sekedar sebagai sarana untuk menciptakan keshalihan spiitual individu dan tidak tertransfomasikan secara luas ke dalam kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar