Rabu, 30 November 2011

AKHLAK SESAMA DALAM KEHIDUPAN

a. Akhlak kepada diri sendiri

(1) Sabar, yaitu prilaku seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai hasil dari pengendalian nafsu dan penerimaan terhadap apa yang menimpanya.Sabar diungkapkan ketika melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan ketika ditimpa musibah.
(2) Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas pemberian nikmat Allah yang tidak bisa terhitung banyaknya. Syukur diungkapkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Syukur dengan ucapan adalah memuji Allah dengan bacaan alhamdulillah, sedangkan syukur dengan perbuatan dilakukan dengan menggunakan dan memanfaatkan nikmat Allah sesuai dengan aturan-Nya.
(3) Tawaduk, yaitu rendah hati, selalu menghargai siapa saja yang dihadapinya, orang tua, muda, kaya atau miskin. Sikap tawaduk melahirkan ketenangan jiwa, menjauhkan dari sifat iri dan dengki yang menyiksa diri sendiri dan tidak menyenangkan orang lain
.
b. Akhlak kepada ibu bapak

Akhlak kepada ibu bapak adalah berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentuk-bentuk perbuatan antara lain : menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai bentuk terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, mentaati perintah, meringankan beban, serta menyantuni mereka jika sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha.

c. Akhlak kepada keluarga

Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkann kasih sayang di antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komuniksai.
Komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang tua dengan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya, akan lahir kepercayaan orang tua pada anak oleh karena itu kasih sayang harus menjadi muatan utama dalam komunikasisemua pihak dalam keluarga.
Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin,keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan kesenjangan di antara mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya menjadi tempat menginap, tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal yang damai dan menyenangkan, menjadi surga bagi penghuninya. Melalui komunikasi seperti itu pula dilakukan pendidikan dalam keluarga, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai landasan bagi
pendidikan yang akan mereka terima pada masa-masa selanjutnya.

AKHLAK KEPADA ALLAH SWT

a.Beribadah kepada Allah, yaitu melaksanakan perintah Allah untuk menyembah-Nya sesuai dengan perintah-Nya. Seorang muslim beribadah membuktikan ketundukkan terhadap perintah Allah.
b.Berzikir kepada Allah, yaitu mengingat Allah dalam berbagai situasi dan kondisi, baik diucapkan dengan mulut maupun dalam hati. Berzikir kepada Allah melahirkan ketenangan dan ketentraman hati.
c.Berdo’a kepada Allah, yaitu memohon apa saja kepada Allah. Do’a merupakan inti ibadah, karena ia merupakan pengakuan akan keterbatasan dan ketidakmampuan manusia, sekaligus pengakuan akan kemahakuasaan Allah terhadap segala sesuatu. Kekuatan do’a dalam ajaran Islam sangat luar biasa, karena ia mampu menembus kekuatan akal manusia. Oleh karena itu berusaha dan berdo’a merupakan dua sisi tugas hidup manusia yang bersatu secara utuh dalam aktifitas hidup setiap muslim.Orang yang tidak pernah berdo’a adalah orang yang tidak menerima keterbatasan dirinya sebagai manusia karena itu dipandang sebagai orang yang sombong ; suatu perilaku yang tidak disukai Allah.
d.Tawakal kepada Allah, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan atau menanti akibat dari suatu keadaan.
e.Tawaduk kepada Allah, yaitu rendah hati di hadapan Allah. Mengakui bahwa dirinya rendah dan hina di hadapan Allah Yang Maha Kuasa, oleh karena itu tidak layak kalau hidup dengan angkuh dan sombong, tidak mau memaafkan orang lain, dan pamrih dalam melaksanakan ibadah kepada Allah

ANTARA AKHLAK MORAL DAN ETIKA

 
Perbedaan antara akhlak dengan moral dan etika dapat dilihat dari dasar penentuan atau standar ukuran baik dan buruk yang digunakannya. Standar baik dan buruk akhlak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Rasul, sedangkan moral dan etika berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh
suatu masyarakat jika masyarakat menganggap suatu perbuatan itu baik maka baik pulalah nilai perbuatan itu. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. Dalam pandangan Islam, akhlak merupakan cermin dari apa yang ada dalam jiwa seseorang. Karena itu akhlak yang baik merupakan dorongan dari keimanan seseorang, sebab keimanan harus ditampilkan dalam prilaku nyata sehari-hari. Inilah yang menjadi misi diutusnya Rasul sebagaimana disabdakannya :
“ Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.”(Hadits riwayat Ahmad)
Secara umum dapat dikatakan bahwa akhlak yang baik pada dasarnya adalah akumulasi dari aqidah dan syari’at yang bersatu secara utuh dalam diri seseorang. Apabila aqidah telah mendorong pelaksanaan syari’at akan lahir akhlak yang baik, atau dengan kata lain akhlak merupakan perilaku yang tampak apabila syari’at Islam telah dilaksanakan berdasarkan aqidah.

AKHLAK

 Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq, artinya tingkahlaku, perangai, tabi’at. Sedangkan menurut istilah, akhlak adalah daya kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mahmudah). Misalnya jujur, adil, rendah hati, pemurah, santun dan sebagainya. Sebaliknya apabila buruk disebut akhlak yang buruk atau akhlakul mazmumah. Misalnya kikir, zalim, dengki, iri hati, dusta dan sebagainya. Baik dan buruk akhlak didasarkan kepada sumber nilai, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul.Di samping akhlak dikenal pula istilah moral dan etika. Moral berasal dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya
suatu perbuatan. Misalnya berpakaian minim di pantai Kuta Bali itu biasa saja,dianggap tidak melanggar norma karena budaya itu diterima masyarakat.
Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat, karena itu yang menjadi standar baik dan buruk itu adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. Moral bersifat lokal atau khusus dan etika bersifat umum.

Minggu, 13 November 2011

pendahuluannya

Nilai-nilai moral masyarakat di mana kita tinggal sudah menyesatkan. Prinsip-prinsip moral ini yang merupakan hasil dari hasrat mementing-kan diri sendiri serta keserakahan masyarakat, kemudian berubah menjadi keegoisan, kesom-bongan, kesinisan, kekerasan, dan kebrutalan dalam masyarakat. Masyarakat percaya bahwa untuk meningkatkan standar hidup, mereka harus mencurangi dan mengalahkan yang lainnya.
Hal ini bukanlah nilai-nilai moral yang Allah tetapkan bagi kehidupan manusia bersama dengan apa yang telah Dia ciptakan. Al-Qur'an menyuruh manusia menjadi bermartabat, rendah hati, dapat dipercaya, baik budi, beriman, dewasa, dan mau mendengarkan. Al-Qur'an bahkan menggambar-kan jalan yang seharusnya kita tempuh, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak me-nyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (Luqman :18)
Karenanya, tugas bagi orang yang beriman adalah menjalankan prinsip-prinsip mulia ini yang Allah telah tetapkan.
Akan tetapi, sekarang ini, orang-orang ber-iman tinggal bersama dalam masyarakat yang penuh dengan kekejian, di mana etika-etika moral dalam Al-Qur'an telah ditinggalkan. Untuk alasan itu, kita harus lebih berhati-hati melawan pe-ngaruh buruk budaya yang menyesatkan ini. Me-reka harus terus-menerus mengawasi diri mereka sendiri bersama masyarakat ini agar tidak terpengaruh oleh budaya merusak dan mereka dapat mengamalkan nilai-nilai moral Al-Qur'an.
Hasil karya ini disiapkan untuk membantu orang-orang beriman agar tidak melupakan ajaran dasar Al-Qur'an yang seharusnya selalu kita jalankan.
Pada bahasan-bahasan berikutnya, nilai-nilai moral dan ibadah-ibadah yang tampaknya terlupakan oleh orang-orang beriman akan dibahas dalam penjabaran yang berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qur'an.

kepribadian moral

Jadi ada dua hal di sini :
1. Moralitas sosial akan terus berubah sesuai perubahan evolusi masyarakat dan peradaban, Contoh : adat makan dan minum akan berubah sesuai perkembangan masyarakat.
2. Moralitas pribadi itu primordial dan merupakan realitas alam semesta, melekat pada kepribadian. Moralitas pribadi itu ada dari semula, pada semua pribadi, tidak dihasilkan dari evolusi.
Moralitas pribadi adalah salah satu ciri khas kepribadian yang tulen dan dasar. UB mengatakan ketika berbicara tentang kepribadian (personality) : ".. It is characterized by morality--awareness of relativity of relationship with other persons. It discerns conduct levels and choosingly discriminates between them." (1225:11). Itu adalah salah satu definisi moralitas yang lain.
Secara intuitif akal-pikiran kita mengenali adanya tanggung-jawab moral (192:6).
Agama dan Moralitas
Moralitas dan agama tidak harus sama (1780:6). Perasaan pribadi akan moralitas, tidak selalu relijius. Ada perasaan tanggung jawab yang bukan spiritual. Namun demikian moralitas ini berkaitan erat dengan agama. Yesus berkata bahwa moralitas ajarannya tidak terpisahkan dari agama kehidupannya. Dia mengajarkan tentang moralitas bukan dari sifat manusia, tetapi dari hubungan manusia pada Allah (1585:6)
Moralitas orang akan dikenali melalui tindakannya.
Perhatikan bahwa UB mementingkan moralitas pribadi yang tertinggi, yaitu memilih untuk melakukan kehendak Allah.
"Tindakan moral adalah perbuatan manusia yang dicirikan oleh kecerdasan tertinggi, diarahkan oleh pilihan akhir dan juga cara mencapainya. Perbuatan semacam itu baik. Maka kebajikan tertinggi, adalah dengan sepenuh hati memilih untuk melakukan kehendak Allah." (193:9)
"Pilihan moral tertinggi adalah pilihan nilai tertinggi yang mungkin, dan selalu--dalam semua dunia, dalam semuanya-- ini adalah memilih untuk melakukan kehendak Allah. Jika manusia memilih demikian, agunglah dia, meskipun dia adalah warga terendah Yerusem (ibukota sistem kita) atau manusia terkecil di Urantia (Bumi)." (435:7)
Moralitas internal adalah inti dari pengembangan spiritual dari kepribadian dalam kehidupan sehari-hari.
Moralitas sosial, dimulai dan dididik melalui keluarga (942:1). Celakanya, kehidupan keluarga sekarang ini banyak yang dalam krisis. Jika ini dibiarkan, kita menghadapi bahaya kehancuran moralitas.
Celakanya lagi, sekarang ini banyak orang sering menganggap uang sebagai dasar dari moralitas sosial. Segala sesuatu diukur dengan uang.
Oleh sebab itu, para administrator Bumi dalam UB juga mengungkapkan adanya potensi bahaya kerusakan moralitas ini. Bagaimanapun, semuanya bergantung kembali pada moralitas pribadi. Hanya hukum moral di dalam manusia dapat menjadi basis untuk pilihan moral antara baik dan buruk, pilihan yang mungkin bertentangan dengan berbagai kebiasaan yang dianut dunia ini sekarang.
Namun demikian para penulis UB menyadari bahwa manusia hidup dalam perjuangan antara sifat rohaniah dari Roh yang didalam, melawan sifat jasmaniah manusia. Kita hidup ditengah konflik antara kehendak Roh melawan keterbatasan sifat manusia kita. Roh Pilot (Adjuster) kita mengalami berbagai kesulitan dalam upaya membuat kita lebih bermoral dan spiritual.

definisi moral islam

Berikut ini adalah kutipan dari Urantia Book tentang moralitas dan etika :
Moralitas adalah kesadaran akan loyalitas pada tugas-tanggungjawab (942:1).
Moralitas berasal dari dalam kepribadian manusia itu sendiri. Binatang tidak memiliki moralitas karena tidak memiliki kepribadian.
Moralitas tidak bisa dijelaskan dengan akal, karena itu berasal dari kepribadian manusia (192:8).
Manusia sebagai makhluk moral tidak dapat dipahami kecuali terlebih dahulu mengenali realitas Bapa Semesta, Sumber dari Kepribadian (53:1).
Moralitas manusia berasal dari kehidupan keluarga (942:1). Jadi keluarga yang baik akan menghasilkan pribadi yang memiliki moralitas yang baik pula. Keluarga adalah tempat mendidik moralitas. Sangat disayangkan pada masa modern saat ini banyak keluarga yang berantakan nilai-nilainya.
Moralitas sosial itu evolusioner, berkembang menurut waktu (68:4)
Moralitas -- meliputi nilai-nilai moral alam semesta -- dapat dirasakan oleh pikiran manusia dalam bentuk tiga dorongan dasar, tiga pilihan dasar (2094:11):
1. dorongan tentang diri sendiri -- pilihan moral, personal morality berpengaruh pada perkembangan spiritual dari manusia itu.
2. dorongan tentang masyarakat -- pilihan etik, berubah terus sesuai perubahan kesadaran sosial.
3. dorongan tentang Allah -- pilihan relijius.

diploma moral

Diplomasi adalah seni dan praktek melakukan negosiasi antara wakil kelompok atau negara. Biasanya mengacu pada diplomasi internasional, pelaksanaan hubungan internasional melalui perantaraan diplomat profesional yang berkaitan dengan masalah perdamaian, perdagangan, perang, ekonomi dan budaya. Biasanya perjanjian internasional dinegosiasikan oleh diplomat sebelum pengesahan oleh politisi nasional.
Menurut Ensiklopedi Wikipedia, dalam arti informal atau arti sosial, diplomasi adalah pekerjaan yang bijaksana untuk memperoleh keuntungan strategis atau untuk mencari solusi yang dapat diterima bersama untuk sebuah tantangan yang sama dengan cara sopan. Dalam diplomasi, ada teknik-teknik yang lazim digunakan sebagai panduan agar berhasil dalam mencapai tujuan.
Dalam Islam, diplomasi yang digunakan adalah Diplomasi Moral. Diplomasi moral bermakna hubungan antar negara, atau kepada manusia lainnya yang dilakukan berdasarkan moral manusia. Penghormatan kepada umat manusia adalah sebuah kebutuhan yang asasi. Manusia membutuhkan penghargaan atas dirinya. Dalam sejarah hidupnya, Rasulullah selalu menggunakan diplomasi moral dalam aktivitasnya.
Diplomasi moral yang dilakukan oleh Rasulullah, tercermin setidaknya dari dua hal di bawah ini:
Pertama, Cara bersikap. Diplomasi sangat ditentukan oleh sikap seorang diplomat. Jika seorang diplomat tidak memiliki sopan santun, maka ia akan gagal dalam negosiasi demi capaian negara atau kelompoknya. Dalam sejarah Islam, ketika kaum muslimin di bawah pimpinan Ja’far bin Abi Thalib berhijrah ke Abbesinia (Ethiopia, Afrika) untuk bertemu dengan Raja Negus beragama Nasrani, kaum muslimin mendapatkan black campaign dari kaum kafir Qurays yang dipimpin oleh Amr bin Ash (ketika itu masih kafir). Namun, setelah negosiasi yang baik tentang bagaimana Islam memandang Isa al-Masih, akhirnya kaum muslimin berhasil untuk mendapatkan perlindungan dari negara tersebut.
Dalam konteks Indonesia, sikap diplomasi yang diperlihatkan oleh IMF kepada Indonesia, memperburuk citra lembaga itu di mata Indonesia. Dalam foto yang dipublikasikan di media massa ketika Soeharto menandatangani “letter of intent” dengan IMF di kediaman Cendana, pada 15 Januari 1998, Direktur Eksekutif IMF, Michel Camdessus menyaksikan momen penandatanganan itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sikap menyilangkan dada ini terlihat sebagai sikap yang pongah yang menurut budaya Indonesia tidak diterimta. Sejarah mencatat peristiwa itu sebagai “Soeharto tunduk pada IMF, salah satu pilar kapitalisme global” (Antara News, 15/05/08). Dalam konteks diplomasi, apa yang dilakukan oleh Camdessus tidak berhasil menarik hati Indonesia, yang ada malah resistensi yang berkembang.
Dalam Islam, kerjasama antara satu negara, atau satu lembaga dengan lembaga lainnya perlu berdasarkan pada penghormatan antara sesama. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana sikap seorang diplomat dalam bernegosiasi. Kegagalan dalam bersikap akan membawa pada resistensi dan hal itu akan merugikan negara atau kelompok tersebut.
Diplomasi Iran beberapa tahun belakangan menarik untuk disimak. Walau disebut oleh Amerika sebagai negara yang tergabung dalam poros setan (axis of evil) bersama Iran dan Korea Utara, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad tetap mengunjungi Amerika dan berpidato di PBB dan Universitas Columbia. Dalam pidato tersebut, Nejad mengkritik kebijakan-kebijakan Amerika, termasuk dalam mensponsori terorisme di Timur Tengah. Walau mendapatkan penentangan dalam forum, Nejad tetap menjawab itu dengan argumen rasional. Sikap diplomasi moral yang menggunakan kepala dingin ini perlu diaplikasikan guna mencapai tujuan nasional.
Sikap serius, rasional, dan menggunakan kepala dingin ini diperlukan dalam proses negosiasi, mengajak negara atau orang lain untuk mengikuti Islam. Rasulullah menyambut manusia lain dengan salam dan kedamaian. Beliau tidak mendasarkan diplomasinya pada kebencian, rasial (seperti yang dipertontonkan oleh Israel) dan menghincari percakapan yang menyakiti orang lain.
Kedua, Cara berbicara. Rasulullah menyebutkan bahwa perkataan yang baik adalah sedekah dan orang yang baik adalah yang mampu mengungkapkan kata-katanya dengan rasional dan laksana obat yang memberikan penyembuhan. Afzal Iqbal (2000) menulis:
Kata-kata yang baik akan menyatukan manusia, sebaliknya kata-kata yang buruk hanya akan mengoyak-ngoyak mereka. Kata-kata yang jelek hanya akan melahirkan iri hati, kebencian, perpecahan, dan perselisihan. Kaum muslimin diwajibkan untuk menggunakan kata-kata yang baik dan bijak dalam usaha mencapai tujuannya (hal. 81).
Mengutip dari al-Qur’an surat Ibrahim 24-26, menurut Iqbal, kata-kata yang baik adalah ”laksana pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah memberikan perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk, seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” Dalam perspektif ayat ini, maka kaum muslim, termasuk dalam diplomasi, dilarang menggunakan perkataan yang tidak senonoh atau tidak beradab.
Suatu waktu, Rasulullah menerima tamu delegasi kaum Yahudi yang mengucapkan salam dengan kata ”Assamu ’Alaikum” yang artinya adalah ”semoga kematian ditimpakan kepada kalian semua.” Perkataan ini sekilas, terdengar mirip dengan kata salam yang biasa diucapkan umat Islam. Namun sesungguhnya jika didengar lebih jeli, vokal dan arti kata tersebut berbeda 180 derajat. Mendengar itu, istri nabi, Aisyah membalas dengan mengatakan, ”semoga kematian segera ditimpakan kepada kalian akan laknat Allah akan menimpamu.” Rasulullah memberikan jawaban yang lebih baik secara diplomatis, yaitu ”Wa’alaikum” yang berarti ”atas kamu.” Dalam konteks cerita ini, terlihat betapa Rasulullah tidak ingin menyakiti hati kaum Yahudi. Namun ketika kaum tersebut mengatakan kata-kata kasar, maka beliau menjawabnya dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh kaum Yahudi itu sendiri.
Dalam konteks kekinian, apa yang dilakukan oleh Rasulullah juga bisa kita lihat dari perkataan Presiden Iran Ahmadinejad. Iran yang dituduh sebagai negara teroris, dijawab oleh Ahmadinejad dengan menampilkan bukti bahwa ternyata terorisme sebenarnya adalah Amerika. Lewat bantuan luar negeri yang diberikan kepada Israel tiap tahunnya yang tidak meminta laporan untuk apa dana tersebut digunakan, telah membuktikan kelemahan Amerika atas Israel. Dalam realitanya, kebijakan diskriminasi Israel bisa dikategorikan terhadap terorisme negara (state terrorism). Kasus pembunuhan terhadap warga Palestina sejak 1948, Shabra dan Shatilla, hingga yang terakhir di Gaza adalah bukti bahwa Amerika mendukung rezim terorisme negara.
Dalam salah satu scene dalam film tentang Shalahuddin al-Ayyubi ketika menaklukkan Yerusalem, ketika salah satu pimpinan pasukan Salib berhasil ditangkap, al-Ayyubi mengatakan, ”raja tidak membunuh raja.” Yang ingin ditampilkan oleh al-Ayyubi dalam film tersebut adalah semangat bahwa dalam Islam, tujuan peperangan adalah bukan semata ingin membunuh manusia lainnya. Perang adalah sarana untuk menegakkan agama Allah. Artinya bahwa ketika musuh telah lemah dan menyerah, maka tidak diperbolehkan lagi untuk membunuh musuh. Diplomasi ini juga dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib ketika beliau berhadapan dengan kekuatan Muawiyah yang ketika itu telah hampir kalah dan mengangkat al-Qur’an. Ali tidak melanjutkan peperangan, akan tetapi bersedia untuk berdialog, walau pada akhirnya sikap ini membuat terpecahnya kelompok Ali menjadi Khawarij. Namun, dalam diplomasi, sikap Ali untuk tidak semata berambisi untuk perang adalah sesuai dengan ajaran Islam.
Cara berbicara bisa dimasukkan pada dua sikap: oral dan tulisan. Oral adalah berbicara lewat mulut, sedangkan tulisan lewat surat. Rasulullah dalam berdakwah kepada raja-raja, tidak menggunakan kata-kata kasar. Ia memulai segala sesuatunya dengan memuji Allah, menyebutkan bahwa ajaran Tauhid adalah yang dibawa olehnya, dan mengajak kepada raja tersebut untuk memeluk agama Islam. Dalam perjanjian antara komunitas Islam, Madinah, dan Yahudi, Rasulullah senantiasa memulai dengan kata “Bismillahirrahmanirrahim.” Setelah kata itu, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dari isi surat tersebut. Memulai dengan nama Allah adalah tujuan dari dakwah Islam. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan dalam Islam, tidak dibenarkan dikerjakan dengan niat kepada selain Allah.
Dalam surat yang diberikan kepada Raja-raja Himyar, Rasulullah memulai dengan nama Allah, seperti dibawah ini:
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasulullah untuk al-Harits bin Abu Kulal dan Nu’aim, pangeran dari Ru’ain dan Ma’afir serta Hamdan. Saya memuji Allah yang tak ada tuhan selain Dia.
Di akhir surat yang dikirimkan itu, Rasulullah tak lupa memberikan doa agar keselamatan senantiasa bersama para Raja, terutama yang telah memeluk Islam. Ia berkata kepada Raja-raja Himyar di akhir suratnya, ”Semoga rahmat Allah untuk anda semua.” Doa ini bisa disebut sebagai salah satu aplikasi dari kata-kata yang baik kepada manusia lainnya. Perkataan yang baik akan memberikan bekas kepada manusia lainnya. Dalam konteks Indonesia yang umat Islamnya terbesar di dunia, surat-surat kenegaraan tidak mencantumkan seperti yang Rasulullah lakukan, padahal model surat dengan ”Bismillah” dan diakhiri dengan do’a adalah salah satu dakwah dan mengajak kepada negara lain untuk bersama-sama mengikuti ajaran Islam.

pengkrisisan moral

Sesungguhnya engkau berada pada akhlaq yg agung ”
Muqoddimah Melihat perkembangan terakhir ummat Islam di Indonesia tergambar dgn jelas betapa merosotnya akhlaknya sebagian ummat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama dikalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dgn konsep yg tidak jelas.
Rusaknya moral ummat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar ummat yg dgn sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar ummat loyo dan berikutnya tumbang. Sehingga yg tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama` dan tokoh masyarakat.
Padahal nilai suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas akhlak-nya seperti dikemukakan penyair Mesir Syauki Bik “Suatu bangsa sangat ditentukan kualita akhlak-nya jika akhlak sudah rusak hancurlah bangsa tersebut.”
Hampir semua sektor kehidupan ummat mengalami krisis akhlak. Para mengalami pertikaian internal dan merebutkan vested interest dan jarang terkooptasi oleh kekuasaan yg dzalim. Para ulama`nya mengalami kemerosotan moral sehingga tidak lagi berjuang utk kepentingan ummat tetapi hanya kepentingan sesaat; mendukung status quo. Para pengusahanya melarikan diri dari tanggung jawab zakat infaq dan sedekah sehingga kedermawanan menjadi macet dan tidak jarang berinteraksi dgn sistem ribawi serta tidak mempedulikan lagi cara kerja yg haram atau halal. Para siswa dan mahasiswa terlibat banyak kasus pertikaian narkoba dan kenakalan remaja lainnya.
Kaum wanita muslimah terseret jauh kepada peradaban Barat dgn slogan kebebasan dan emansipasi yg berakibat kepada rusaknya moral mereka maka tak jarang mereka menjadi sasaran manusia berhidung belang dan tak jarang dijadikan komoditi murahan . Dan berbagai macam lapisan masyarakat muslim termasuk persoalan kaum miskin yg kurang sabar sehingga menjadi obyek garapan pihak lain termasuk seperti bentuk nyatanya pemurtadan semisal kristenisasi.
Pengertian akhlak Secara etimotogi bahasa akhlak dari akar bahasa Arab “khuluk” yg berarti tabiat muruah kebiasaan fithrah naluri dll . Secara epistemologi Syar’i berarti seperti dikatakan Al Ghozali akhlak adl sesuatu yg menggambarkan tentang perilaku seseorang yg terdapat dalam jiwa yg baik yg darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya. Dan jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yg baik dan muliayang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat maka ia dinamakan akhlak yg mulia nammun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlak yg tercela
Memang perlu dibedakan antara akhlak dan moral. Karena akhlak lbh didasari oleh faktor yg melibatkan kehendak sang pencipta sementara moral lbh penekanannya pada unsur manusiawinya. Sebagai contoh mengucapkan selamat natal kepada non muslim secara akhlak tidak dibenarkan tetapi secara moral itu biasa-biasa saja.
Sentral Akhlak Akhlak secara teoritis memang indah tapi secara praktek memerlukan kerja keras. Oleh krn itu Allah SWT mengutus Nabi SAW-Nya utk memberi contoh akhlak mulia kepada manusia.Pekerjaan itu dilakukan oleh Nabi SAW sebaik mungkin sehingga mendapat pujian dari Allah SWT “Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yg agung “. Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda “Aku diutus utk menyempurnakan Akhlak“. Lebih dari itu beliau menempatkan muslim yg paling tinggi derajatnya adl yg paling baik akhlaknya. “Sesempurna-sempurna iman seseorang mukmin adl mereka yg paling bagus akhlaknya
Maka tak heran Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan ; “Akhlak Rasulullah SAW adl Al Qur`an“.
Cakupan Akhlak Mulia Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu ;
    Akhlak kepada Allah SWT dgn cara mencintai-Nya mensyukuri ni’mat-Nya malu kepada-Nya utk berbuat maksiat selalu bertaubat bertawakkal takut akan adzab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
    Akhlak kepada Rasulullah SAW dgn cara beradab dan menghormatinya mentaati dan mencintai beliau menjadi kaumnya sebagai perantara dalam segala aspek kehidupan banyak menyebut nama beliau menerima seluruh ajaran beliau menghidupkan sunnah-sunnah beliau dan lbh mencintai beliau daripada diri kita sendiri anak kita bapak kita dll.
    Akhlak terhadap Al Qur`an dgn cara membacanya dgn khusyuk tartil dan sesempurna mungkin sambil memahaminya menghapalnya dan mengamalkannya dalam kehidupan riil.
    Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri orangtua kerabat handaitaulan tetangga dan sesama mukmin sesuai dgn tuntunan Islam.
    Akhlak kepada orang kafir dgn cara membenci kekafiran mereka tetapi tetap berbuat adil kepada mereka berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya dan berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dgn syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
    Akhlak terhadap makhluk lain termasuk kepada menyayangi binatang yg tidak mengganggu menjga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya dll. Krisis Akhlak Apabila norma-norma akhlak mulia tidak dijalankan dgn baik bahkan cenderung dilanggar maka akan terjadi apa yg dinamakan krisis akhlak. Sebagai contoh kami kemukakan data-data terjadinya perusakan akhlak terutama kepada para remaja berupa narkoba shabu-shabu putow heroin ganja ecstasi morphin dll. Sasarannya mulai dari anak-anak sekolah dasar sampai perguruan tinggi dari pengangguran sampai artis. Pengaruh buruk yg diperoleh adl dapat merusak hati dan otak meskipun pada tahap awal sipecandu merasa segar gembira fly tidak tidur dan merasa berani. Police watch Indonesia suatu LSM yg memantau keterlibatan polisi dalam jaringan penyimpangan menyebutkan bahwa 42% kasus narkoba terjadi dijakarta 58% terjadi diJawa Barat Bali Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur dan Sumatra Barat. Jakarta Barat kawasan terbesar kasus narkoba krn dikawasan itu banyak terdapat tempat maksiat sisanya di Jakarta Pusat Jakarta Utara dan Jakarta Timur . Bahkan telah merambat kekota-kota kecil dan kampung-kampung. Pembentengan dari krisis Akhlak Tentunya ummat Islam tidak berjaya kalau melepaskan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Makanya mereka harus kembali menghidupkan Islam sebagaimana yg telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya Imam Malik pernah meriwayatkan Artinya “Tidaklah berjaya akhir dari ummat ini melainkan berpegang dgn apa yg dipegang generasi pertama“. Kita harus kembali menghidupkan masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam. Memperkuat daya tahan rumah tangga dari ancaman dekadensi moral termasuk film-film ysng bobrok menjaga disiplin dan keamanan sekolah serta memberikan lingkungan materi agama yg cukup serta menjaga daya tahan lingkungan masyarakat dari berbagai arus perusakan dan penyesatan sekaligus mengaktifkan pemerintah utk membentengi masyarakat dari berbagai bentuk kemaksiatan. Wallahu A`lam.

prinsip-prinsip

Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.

Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.

Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.

Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.

Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir

tujuannya

Pendidikan adalah bimbingan kepada anak yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya. Anak adalah makhluk yang sedang tumbuh, oleh karena itu pendidikan penting bagi anak. Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku “Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam” karangan Ahmad Tafsir mengatakan bahwa:

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didiknya menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[24]

John Dewey, tokoh pendidikan terkemuka mengatakan “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.[25]

Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[26]

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar, disengaja, dan positif untuk menuntun hidup jasmani dan rohani anak didik dengan memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat menuju terbentuknya kepribadian yang utama, selanjutnya tentang pengertian pendidikan Islam, maka penulis akan mengemukakan pendapat beberapa tokoh pendidikan Islam antara lain:

Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.[27]
Syaifuddin Ansyari mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah proses bimbingan (pimpinan), tuntunan, usulan oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa dan raga objek didik dengan bahan-bahan materi metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.[28]
Muhammad Ibrahim mengemukakan bahwa pendidikan Islam dalam pandangan yang sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga dengan mudah dapat membentuk hidupnya dengan ajaran Islam.[29]

Berdasarkan beberapa rumusan tentang pendidikan Islam di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan oleh pendidik dalam hal ini orang tua dan guru yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam.

Pendidikan sebagai suatu aktivitas yang terorganisasi berencana dan sadar akan tujuan, maka praktis pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini penulis mengemukakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang harus dan diharapkan setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Oleh karena pendidikan merupakan usaha, atau kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan, maka tujuannya pun bertahap atau bertingkat-tingkat.

Adapun mengenai tujuan pendidikan Islam berikut ada beberapa nukilan tentang tujuan pendidikan Islam dan beberapa ahli yaitu:

M. Athiyah al-Abrasyiy mengatakan bahwa pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan-tujuan utama dari pendidikan Islam.[30]
Mukhtar Yahya, tujuan pendidikan Islam yaitu memberikan pedoman tentang ajaran-ajaran Islam kepada anak didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah sebagai pengemban amanah untuk menyempurnakan akhlak mulia sehingga memperoleh kehidupan di dunia dan akhirat.[31]

Berangkat dari tujuan pendidikan Islam di atas dapat dikatakan tujuan pendidikan moral adalah membentuk manusia berkepribadian dan berbudi luhur serta mempunyai nilai fungsional bagi dirinya sendiri, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Maka tujuan akhir dari pendidikan Islam bertolak pada sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah pada tingkat individual, masyarakat dan tingkat kemanusiaan pada umumnya.

metodenya

Pendidikan anak dalam lingkungan keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan anak, untuk mencapai kedewasaan atau dapat disebut mencapai dirinya sendiri.

Dapat dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak”. Karena dalam keluarga tempat fasilitas anak untuk tumbuh dan berpola serta bertingkah laku.[21] Dan menurut penulis dikatakan bahwa keluarga adalah “sekolah perkembangan anak” karena dalam lingkungan keluargalah seorang anak tumbuh dan bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungan keluarga, yang berlangsung secara berkesinambungan menuju tingkat kedewasaan. Strategi yang baik dalam proses pembentukan moral adalah strategi yang dapat melahirkan metode yang baik pula. Sebab metode merupakan suatu cara dalam pelaksanaan strategi.

Selanjutnya dalam mendidik anak ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain:

1. Metode Teladan

Al-Qur’an dengan tegas menandaskan pentingnya contoh teladan, Allah menyuruh kita mempelajari tindak tanduk Rasulullah Saw. dalam QS. Al-Ahzab : 21 yang berbunyi :

Terjemahnya :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.[22].

Teladan yang baik dari orang tua dibutuhkan pada hal-hal berikut :

Konsekuen dalam melaksanakan sikap terpuji dan akhlak mulia karena satu kali saja berbuat salah di depan anak, maka terhapuslah semua yang baik di matanya.
Sebagian besar akhlak yang terpuji didapati anak dari contoh dan teladan orang tuanya. Sifat dermawan, berani, amanah, menghormati orang lain, dll adalah sifat yang didapat anak dari sikap orang tuanya yang ia lihat langsung.
Sampai usia empat tahun, anak menjadikan orang tuanya sebagai teladan utama.
2. Metode Nasehat

Memberikan pengertian sangat penting bagi perkembangan anak karena dengan pengertian yang akan menjadikan dirinya memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak dilakukan. Namun seringkali anak ingin mencoba untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan orang tua. Oleh karena itu, perbuatannya perlu ditunjukkan atau diberi peringatan. Jika peringatannya tidak diperhatikan dan selalu melakukan tanpa mempedulikan orang atua atau lingkungan keluarga, orang tua perlu memperlakukan tindakan dengan mencegah perbuatannya itu, agar tidak diulangi lagi, sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman : 13.

Terjemahnya :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.[23]

Sebagai orang tua, saat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan hendaklah benar-benar kita terapkan juga, dan jangan sampai melanggarnya, apalagi kalau anak melihatnya. Begitu juga dalam memberikan peraturan dan perintah hendaknya melihat kondisi dan sesuai dengan masa, usia perkembangannya. Karena kita tidak memaksakan sesuatu sekehendak diri kita, melainkan melihat, memperhatikan kondisi perkembangannya.

3. Metode Pembiasaan

Metode pembiasaan sangat penting untuk diterapkan karena pembentukan moral dan rohani tidaklah cukup tanpa pembiasaan sejak dini. Untuk terbiasa hidup disiplin, teratur, tolong menolong dalam kehidupan sosial memerlukan latihan yang kontinu setiap hari dan dibarengi dengan keteladanan dan panutan, karena pembiasaan tanpa dibarengi contoh tauladan akan sia-sia.

4. Metode Kisah

Dalam Islam metode kisah mempunyai fungsi edukatif tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian selain bahasa. Anak-anak menyukai mendengarkan cerita karena daya hayal mereka luas dan karena kisah atau cerita bisa menggambarkan suatu peristiwa seperti nyata. Menceritakan kisah-kisah para nabi akan dapat menggugah hati anak sebab kisah-kisah para nabi memuat nilai-nilai akhlak yang terpuji yang ditampilkan dengan cara menarik baik itu akhlak yang dimiliki para rasul atau kesabaran dan perjuangannya dalam menyampaikan risalah.

5. Hadiah dan hukuman

Menggemarkan berbuat baik dan peringatan dari perbuatan jahat adalah dua hal yang erat hubungannya dalam Al-Qur’an, dan ini cukup agar orang menjadi beriman. Orang yang tidak terpengaruh oleh apa yang Allah SWT. janjikan bagi perbuatan baik dan hukuman dari perbuatan jahat, maka Allah SWT. akan memberikan azab-Nya di dunia dan akhirat. Seperti halnya imbalan bagi perbuatan baik, begitu pula hukuman merupakan salah satu sarana pendidikan. Di antara hukuman tersebut misalnya pukulan merupakan sarana mendidik anak agar tidak malas shalat.

Namun yang harus diperhatikan ornag tua adalah bahwa hadiah dan hukuman itu tidak menjadikan anak lupa apa yang dilakukan dan diperbuatnya, hanya memperhatikan hadiahnya. Di sinilah dibutuhkan peran orangtua bagaimana agar dalam memberikan hadiah yang menjadikan baik bagi anak.

Begitu juga dalam memberikan hukuman pada anak, sebaiknya memberikan pengertian tentang kesalahan yang diperbuatnya.

kelanjutannya

Dalam Kamus Bahasa Indonesia anak adalah turunan yang kedua.[14] Anak adalah anggota keluarga dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat.

Selanjutnya perkembangan menurut Syamsu Yusuf adalah perubahan yang berkesinambungan dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati.[15] Dan perkembangan yang dimaksud penulis di sini adalah perkembangan dalam aspek moral, yaitu perubahan-perubahan yang dialami seseorang menuju tingkat kedewasaan yang berlangsung secara berkesinambungan yang menyangkut pertambahan pengetahuan seorang anak mengenai ukuran baik dan buruk.

Menurut Abu Ahmadi dalam bukunya yang berjudul “Psikologi Perkembangan” mengatakan bahwa perkembangan moral seseorang berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak di samping pengaruh luar dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan diri anak.[16]

Moralitas tidak dapat terjadi hanya melalui pengertian-pengertian, tanpa latihan-latihan, pembiasaan dan contoh-contoh yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam dengan berangsur-berangsur sesuai dengan pertumbuhan kecerdasannya, sesudah itu barulah si anak diberi pengertian-pengertian moral. Selanjutnya Zakiah Daradjat mengatakan bahwa dalam pembinaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap dan tidak berubah-ubah oleh waktu dan tempat.[17]

Senada dengan pendapat di atas Sabiq Barbari juga mengatakan: ilmu yang diperoleh pada masa kanak-kanak sangat terkesan, tetapi tidak berkesan apabila diperoleh pada masa dewasa. Sebagaimana dahan pohon yang hijau dapat ditegakkan dengan mudah, tetapi apabila telah kering tidak dapat ditegakkan.[18]

Proses perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara sebagai berikut:

Pendidikan Langsung, yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya.
Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, kyai, artis orang dewasa lainnya).
Proses coba-coba (Trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman akan dihentikan.[19]

Robert J. Havighurst, telah membagi tahap perkembangan moral seseorang ke dalam empat tahap yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang ada, yaitu:

1. Usia 1-4 tahun : Pada fase ini ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang dikatakan oleh orang tua. Walaupun anak saat itu belum tahu benar hakikat atau perbedaan antara yang baik dan buruk.

2. Usia 4-8 tahun : Pada fase ini ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas). Anak belum dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan, antara perbuatan disengaja atau tidak, anak belum mengetahui yang ia nilai hanyalah kenyataannya.

3. Usia 8-13 tahun : Pada fase ini anak sudah mengenal ukuran baik-buruk secara batin (tak nyata) meskipun masih terbatas.

4. Usia 13 tahun dan seterusnya: Pada fase ini seorang anak sudah mulai sadar betul tentag tata nilai kesusilaan (value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan pemahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima. Pada saat ini anak benar-benar berada pada kondisi dapat mengendalikan dirinya sendiri.[20]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mendidik moral anak harus dimulai sejak kecil dan tetap berpegang pada ajaran agama sebab pengalaman dan pendidikan agama yang dirasakan sejak kecil akan menentukan sikap anak setelah dewasa, dan kesemuanya itu merupakan tanggung jawab orang tua.

membina kepribadian moral

Membina Kepribadian Anak

Dalam membina kepribadian anak orang tua hendaknya memahami dorongan-dorongan serta kebutuhan anak baik secara psikis maupun fisik dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga target dalam mengasuh anak akan tercapai sebagaimana yang diinginkan.

Menurut Zakiah Daradjat, orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang bertumbuh itu.[1]

Senada dengan pendapat di atas, Abu Ahmadi mengatakan bahwa orang tua mempunyai peranan yang pertama dan utama bagi anak-anaknya untuk membawa anak kepada kedewasaan, maka orang tua harus memberi contoh yang baik karena anak suka mengimitasi pada orang tuanya.[2]

Adapun eksistensi orang tua sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan anak menurut Abdullah Nasih Ulwan adalah:

“Orang pertama dan terakhir yang bertanggung jawab mendidik anak dengan keimanan dan akhlak, membentuknya dengan kematangan intelektual dan keseimbangan fisik dan psikisnya serta mengarahkannya kepada kepemilikan ilmu yang bermanfaat dan bermacam-macam kebudayaannya adalah orang tua”.[3]

Adapun kewajiban utama orang tua sebagai pendidik dalam keluarga menurut Abdurrahman al-Nahlawi ada dua, yaitu:

1) Membiasakan anaknya supaya senantiasa mengingat keagungan dan kebesaran Allah dengan mengajak mereka untuk memikirkan atau mentafakkuri segala ciptaan Allah swt.

2) Menampakkan sikap keteguhan di hadapan anak dalam menghadapi berbagai penyimpangan orang-orang sesat, seperti kezaliman, hidup tak bermoral dan sebagainya.[4]

Membina Emosi Anak

Pada awal pertumbuhannya, seorang anak belum memiliki reaksi emosional terhadap obyek yang bersifat abstrak seperti mencintai keindahan, kejujuran, kebenaran, etika dan estetika sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa.

Dalam membina emosi anak hubungan orang tua dengan anak sangat penting karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalannya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pikirannya di kemudian hari, terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya sejak kecil.

Menurut A. Choiran Marzuki ada tiga kriteria orang tua yang gagal dalam membina kecerdasan emosional anak, yaitu:

1) Orang tua yang bersikap masa bodoh, mengabaikan, meremehkan dan tak mau menghiraukan emosi anak.

2) Orang tua yang bersikap negatif terhadap emosi anak, dan terkadang memberikan hukuman kepada anak saat sang anak mengungkapkan emosinya.

3) Orang tua yang bisa menerima emosi anak dan berempati dengannya, namun tidak mau memberikan bimbingan dan mengadakan batasan-batasan dengan tingkah laku riil.[5]

Memberi nama yang baik seperti yang diperintahkan Nabi Muhammad Saw. dalam sunnahnya
Mengajarkan Al-Qur’an dan pengetahuan yang dibutuhkan baik pengetahuan agama maupun umum, kemudian mengajarkan kreatifitas yang berguna.
Mengajarkan shalat, mendidiknya agar terbiasa melakukannya, membawanya ke masjid untuk shalat berjamaah, dan memukulnya dengan wajar apabila anak enggan melakukan shalat.[6]
2. Pengertian Moral

Istilah moral berasal dari kata latin ‘mos’ (moris), yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas, merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral.[7]

Menurut Zakiah Daradjat, dalam bukunya yang berjudul “Peranan Agama dalam Kesehatan Mental mengatakan bahwa moral adalah kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran (nilai-nilai) masyarakat yang timbul dari hati dan bukan paksaan dari luar, yang disertai pula oleh rasa tanggung jawab atas kelakuan (tindakan) tersebut. Tindakan itu haruslah mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan atau keinginan pribadi.[8]

Dalam Islam moral merupakan terjemahan dari kata akhlak. Namun demikian moral dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau kelakuan yang bersumber dari nilai-nilai masyarakat, sedangkan akhlak merupakan suatu kelakuan atau sikap yang dimiliki oleh seseorang yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.

Di kalangan para ulama terdapat berbagai pengertian tentang apa yang dimaksud moral/akhlak. Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa moral/akhlak mengacu kepada perbuatan yang bersifat manusiawi, yaitu perbuatan yang lebih bernilai dari sekedar perbuatan alami seperti makan, tidur, dan sebagainya.[9]

Pengertian moral secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, bahwa moral/akhlak adalah suatu perbuatan yang lahir dengan mudah dari jiwa yang tulus, tanpa memerlukan pertimbangan dan pertimbangan lagi.[10]

Berdasarkan definisi di atas Abuddin Nata, merumuskan bahwa perbuatan moral/akhlak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Perbuatan tersebut telah mendarah daging atau mempribadi, sehingga menjadi identitas orang melakukannya.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan mudah, gampang serta tanpa memerlukan pikiran lagi. Sebagai akibat dari telah mempribadinya perbuatan tersebut.
Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan dan pilihan sendiri bukan karena paksaan dari luar. Perbuatan tersebut dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara, atau tipuan dan perbuatan tersebut atas dasar niat karena Allah swt.[11]

Dalam hubungannya antara ajaran agama khususnya Islam dan moral ini, Zakiah Daradjat berpendapat bahwa jika kita ambil ajaran agama, maka moral adalah sangat penting bahkan yang terpenting di mana kejujuran, keadilan, kebenaran dan pengabdian adalah di antara sifat-sifat yang terpenting dalam agama.[12]

Hal ini sejalan pula dengan pendapat Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa:

Inti ajaran agama adalah moral yang bertumpuh pada keyakinan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (Habl minallah) dan keadilan serta berbuat baik dengan sesama manusia (Habl minannaas).[13]

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral dalam ajaran Islam merupakan terjemahan dari kata akhlak yang berarti sifat terpuji yang merupakan pantulan berupa perilaku, ucapan dan sikap yang ditimbulkan oleh seseorang atau dengan kata lain moral adalah amal saleh dan dalam mendidik moral anak orang tua harus memberikan tauladan yang baik sebab moral anak terbentuk dengan meniru bukan dengan nasehat atau petunjuk.

perbedaan-perbedaan

perbedaan tingkat penerimaan perbaikan moral/akhlak, al-Ghazali membagi manusia dalam bebeapa kelompok kriteria :
  1. Seorang yang sepenuhnya lugu atau polos yang tidak mampu membedakan antara yang hak dan yang bathil atau antara yang baik dan yang buruk, tetap dalam keadaan fitrah seperti ketika dilahirkan, dan dalam keadan kosong dari segala kepercayaan. Demikian pula ambisinya belum begitu kuat untuk mendorongnya mengikuti berbagai kesenangan hidup manusiwi. Orang seperti ini sangat cepat dalam proses perbaikan moralnya. Orang seperti ini hanya membutuhkan pembimbing untuk melakukan mujahadah. Orang seperti ini akan mengalami perbaikan moral dengan cepat.
  2. Orang secara pasti telah mengetahui sesuatu yang buruk tetapi ia belum terbiasa mengerjakan perbuatan baik bahkan ia cenderung mengikuti hawa nafsunya melakukan perbuatan-perbuatan buruk dari pada mengikuti pertimbangan akal sehat untuk melakukan perbuatan baik. Perbaikan moral/akhlak seperti ini tentu tingkat kesukarannya melebihi dari tipe orang sebelumnya. Sebab usaha yang harus dilakukan bersifat ganda, selain mencabut akar-akar kebiasaan buruknya, orang tersebut secara seius dan konsisten melakukan latihan-latihan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika hal ini dilakukan sungguh-sungguh, maka perbaikan moral akan terlaksana.
  3. Orang yang berkeyakinan bahwa perangai-perangai buruk merupakan sesuatu yang wajib dilakukan dan perbuatan itu dianggap aik dan menguntungkan. Orang tersebut tumbuh dengan keyakinan seperti itu. Terhadap kriteria orang seperti ini, maka sungguh merupakan usaha yang sangat berat dan jarang sekali yang berhasil memperbaikinya. Karena terlalu banyak penyebab kesesatan jiwanya.
  4. Seseorang yang diliputi pikiran-pikiran buru, seiring dengan pertumbuhan dirinya, dan terdidik dalam pengalaman (lingkungan) yang buruk. Sehingga ketinggian derajatnya diukur dengan seberapa banyak perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan dan bahkan dengan banyaknya jiwa-jiwa manusia yang ia korbankan. Orang seperti ini berada dalam tingkatan orang yang paling sulit.untuk diobat. Usaha memperbaiki moralitas orang ini bisa dikatakan sebuah usaha yang sia-sia

perubahannya

Setiap manusia dalam hidupnya pasti mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam manusia (internal) atau yang berasal dari luar (eksternal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah pada hal-hal yang bersifat positif atau sebaliknya mengarah pada perubahan yang bersifat negative.
Kaitannya dengan pembentukan moral, maka membicarakan proses pembentukan moral, tidak lain membicarakan salah satu aspek dari aspek perubahan atau perkembangan manusia. Tentu dalam pembentukan moral ada faktor-faktor yang mempengaruhi seperti halnya perubahan manusia pada umumnya.
Menurut beberapa ahli pendidikan, perubahan manusia atau yang lebih spesifik mengenai pembentukan moral dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Namun, mereka berbeda pendapat dalam hal faktor mana yang paling dominant mempengaruhi proses perubahan tersebut. Perbedaan tersebut diakibatkan karena berbedanya sudut pandang atau pendekatan yang digunakan oleh masing-masing tokoh.
Dalam beberapa literature pendidikan terdapat aliran-aliran yang biasa digunakan oleh beberapa ahli pendidikan sebagai suatu pendekatan dalam menilai faktor-faktor yang mempengaruhi proses perubahan atau perkembangan manusia.

terdahulunya moral

SEJAK masa kenabian sampai saat ini, Islam tetap diakui sebagai ajaran (risalah) agama yang sangat compatible dengan cita-cita kemajuan ilmu pengetahuan dan pembentukan peradaban ummat. Di pandang dari segi teologis, Islam memiliki sistem ketuhanan yang sempurna, yang mengatur kehidupan alam semesta ini secara totalitas. Singkatnya, kehadiran Islam selain mengajarkan bagaimana membangun transendensi yang kokoh, tetapi juga memberi implikasi praksis-empiris, yakni membawa misi kerahmatan bagi semesta alam.
Namun, secara faktual yang terjadi dilapangan eksistensi Islam belum memperlihatkan suatu ajaran yang compatible dengan kemajuan sebagaimana yang dimaksud di atas, tetapi dalam beberapa hal ajaran agama justru dipahami secara parsial yang pada gilirannya membuat umat Islam itu sendiri terjebak pada dataran normativ, eskatologis dan berlawanan dengan nilai-nilai kedinamisannya. Munculnya wacana gagasan Islam liberal misalnya, telah melahirkan reaksi yang justru mematikan substansi pemikiran ummat.
Nampaknya masih ada kesenjangan antara cita-cita, pesan moral dan kenyataan yang sesungguhnya. Karena sampai saat ini, literatur keagamaan semacam ini masih agak ‘terbatas', dibandingkan dengan literatur keagamaan yang ranah kajiannya berbau konseptual dan sulit diimplementasikan pada dataran praksis.
Menurut Muslim A. Kadir (2003) saat ini perlu gagasan dan paradigma baru bahwa tentang pentingnya ilmu Islam terapan (`amali) sebagai jawaban terhadap kesenjangan literatur keagamaan selama ini. Sebab, warisan khazanah pemikiran yang banyak kita kaji sebelumnya hanya berkisar pada tataran konseptual yang cenderung bersifat abstrak dan bernuansa eskatologis. Pengembangan ilmu dalam Islam harus mencapai tahap yang mampu berdaya untuk memberikan manfaat konkret bagi umat Islam khususnya, dan masyarakat dunia pada umumnya.
Memahami doktrin Islam -landasan normativ- berarti harus diturunkan menjadi pesan dan petunjuk dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan yang elegan bagi kehidupan umat. Saat ini, problema yang masih dirasakan oleh umat Islam adalah kesenjangan antara ide dan kenyataan. Sehingga fenomena ini mengaharuskan bagi kita untuk menelaah kembali dengan menggunakan pendekatan dan metologis yang tepat.
Salah satu upaya untuk menjembatani kesenjangan tersebut -kata Kadir- harus dilakukan faktualisasi. Yakni suatu proses yang mengubah ide dalam Islam menjadi fakta dalam keberagamaan pemeluk. Proses ini berisi rangkaian kegiatan pemeluk yang merupakan pelaksanaan universalitas misi dan petunjuk dalam doktrin Islam, bagi kehidupan konkret masyarakat. Ujung akhir dari proses faktualisasi adalah Islam, yang bukan hanya sebagai ide, namun sudah meruang-waktu dalam wujud tampilan konkret, lengkap dengan sifatnya, keadaan, tempat dan waktu tertentu, dapat di indra, dalam kehidupan konkret pemeluk, dan dapat ditunjuk sebagai satuan keberagamaan.
Proses faktualisasi dapat dipahami sebagai singularitas keberagamaan dalam agama Islam. Perubahan universalitas menjadi singularitas ini sejajar dengan perubahan dari agama menjadi keberagamaan pada diri pemeluk. Dalam konteks ini, keberagamaan berarti menjalankan atau melaksanakan ajaran agama. Tanpa melalui proses faktualaisasi kandungan doktrin agama sulit mengakar rumput.
Sebagaimana digagas oleh para ilmuan Muslim terdahulu, kita dapat menjumpai sebuah termenologi "ideal moral" dan "legal formal" untuk merumuskan tabiat keberagamaan dalam sumber ajaran Islam. Term pertama, menunjuk pada pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terdapat dalam ajaran, sedang kedua pada tampilan dan cenderung bernuansa baku dari pelaksanaan ajarannya. Untuk term yang pertama dapat diterima, namun term kedua terdapat banyak yang keberatan.
Gagagasan tentang ilmu Islam amali berangkat dari kenyataan bahwa masalah-masalah kontemporer saat ini tidak dapat dijelaskan dan dijawab dengan mewarisi intelektual Islam (kondisi sosial keagamaan mereka) begitu saja. Sebab bukan tidak mungkin warisan khazanah mengalami suatu -yang disebut Thomas S. Kuhn - tahap anomali. Jadi pembongkaran ulang terhadap pemikiran sebelumnya sangat mungkin untuk dilakukan, dan jalan keluarnya adalah merumuskan paradigma baru.
Keterbatasan ilmu Islam untuk menjawab dan menyelesaikan masalah ummat, kata A, Kadir- mengakibatkan ketidakberhasilannya secara maksimal untuk mencapai tujuan risalah seperti pada masa Rasullullah dan masa formasi Islam (Golden Age of Islam). Tidak jarang, banyak penulis seperti; Lothrop Stoddrad, George Antonius, Albert Hourani, W. Montgomery Watt, dan penulis Barat lainnya, atau oleh Ahmad Amin, Ahmad Syalaby, Niyazi Berkes, dan penulis-penulis Timur lainnya digambarkan sebagai periode kemunduran Islam. Aspek kemunduran ini tidak hanya terbatas pada dimensi politik semata, melainkan juga meluas sampai ke dimensi sosial, budaya, ilmu pengetahuan bahkan yang lebih memprihatinkan adalah justru kemunduran di bidang keagamaan.
Kondisi kehidupan seperti ini tidak hanya menghambat, melainkan sudah menggagalkan pencapaian tujuan risalah. Oleh karena itu, -kata A. Kadir- pokok bahasan, perspektif umum dan metode pemecahan masalah ilmu Islam, tidak lagi berhenti pada norma atau pemikiran spekulatif, melainkan secara pasti harus menjangkau terapan ajaran dalam kehidupan praktis atau dimensi ‘amali dari keberagamaan Islam.
Karena itu, paradigma yang perlu dibangun untuk membentuk ilmu Islam amali dapat dirumuskan dengan menggunakan pendekatan ahkamy, falsafy dan wijdany. Membangun keberagamaan perlu ditandai dengan kegiatan intelektual yang didasarkan pada paradigma tersebut. Dengan demikian, kualitas risalah dalam konteks sosiokulturalnya, sangat ditentukan oleh seberapa jauh potensi intelektual di dalam masing-masing paradigma itu.
Kerangka paradigma di atas, merupakan kunci pokok untuk memperoleh universalitas pesan moral dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam kitab suci maupun dari sunnah Rasulullah. Di sinilah faktualisasi itu bergerak menuju kondisi sosial yang saat ini berkembang sebagaimana substansi ajaran agama itu diturunkan di muka bumi ini. Jadi tidak ada kesulitan yang berarti, jika ada upaya untuk menafsirkan dan menta'wilkannya dengan secara kritis. Karena secara epistemologis, upaya melakaukan hal itu selaras dengan pandangan al-qur'an yang sangat tinggi menghargai kedudukan akal.
Kesemprnaan ajaran bukan bukan berarti tidak membutuhkan kerja keras untuk berusaha memahami dan menangkap substansi kandungannya. Karena itu, kajian keilmuan baik yang bersifat keagamaan, masalah ilmu-ilmu sosial, humaniora sangat membutuhkan kerangka metodologis yang sistematis yang dapat diuji kebenarannya. Ilmu dan agama sama-sama memiliki sifat yang mendorong pada nilai pragmatis. Jika terjadi pemisahan antara kedua jantung keilmuan tersebut, maka kehancuran dan sekularisme sulit bisa disembuhkan.
Dalam konteks sosiokultural, antara ajaran agama dan kemajuan sains harus dapat berjalan seiring dan seirama. Secara sosiologis keduanya sama-sama memiliki fungsional untuk membentuk diri manusia sejahtera, bahagia dan rasa aman.

Pengembangan petunjuk dalam ajaran Islam diharapkan menjadi sains keagamaan, dan pada akhirnya dapat ditumbuhkan teknologi untuk memberdayakan potensi agama. Jika tahap perkembangan ini tercapai, maka keunggulan dan manfaat ajaran agama tidak berhenti pada keyakinan semata, namun sudah dapat dibuktikan dalam praksis kehidupan.

peran pendidikan moral

Pelaksanaan pendidikan agama yang diberikan bukan hanya menjadikan manusia yang pintar dan trampil, akan tetapi jauh daripada itu adalah untuk menjadikan manusia yang memiliki moral dan akhlakul karimah. Dengan moral dan akhlakul karimah yang dimilikinya akan mampu mengarahkan minatnya untuk terus belajar mencari ilmu.
Para ahli pendidik Islam telah sefakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, dengan kesopanan yang tinggi, rasa fadilah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk kehidupan yang seluruhnya ikhlas dan jujur.
Pada akhirnya tujuan pendidikan Islam itu tidak terlepas dari tujuan nasional yang menciptakan manusia Indonesia seutuhnya, seimbang kehidupan duniawi dan ukhrawi. Dalam al-Qur’an sudah terang dikatakan bahwa manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Hal ini terdapat dalam Al-qur’an Surat Adz-zariyat : 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku”.
Pendidikan agama yang menyajikan kerangka moral sehingga seseorang dapat dapat membandingkan tingkah lakunya. Pendidikan agama yang terarah dapat menstabilkan dan menerangkan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Pendidikan agama menawarkan perlindungan dan rasa aman, khususnya bagi para siswa dalam menghadapi lingkungannya.
Agama merupakan salah satu faktor pengendalian terhadap tingkah laku anak-anak didik hari ini. Hal ini dapat dimengerti karena agama mewarnai kehidupan masyarakat setiap hari.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pembinaan dan bimbingan melalui pendidikan agama sangat besar pengaruhnya bagi para siswa sebagai alat pengontrol dari segala bentuk sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari, artinya nilai-nilai agama yang diperolehnya menjadi bagian dari pribadinya yang dapat mengatur segala tindak tanduknya secara otomatis.
Kaitannya dengan meminimalisir dekadensi moral sangat besar sekali. Pendidikan agama mengarahkan kepada setiap siswa untuk komitmen terhadap ajaran agamanya. Tidak terbuai dengan lingkungan yang tidak baik. Tidak berprilaku buruk dalam setiap aktivitasnya. Pendek kata, dengan pendidikan agama prilaku siswa dapat diarahkan.
Masyarakat harus segera disadarkan bahwa ancaman global khususnya kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi kalau tidak dibarengi dengan benteng ilmu agama akan berakibat fatal terhadap lajunya prilaku dekadensi moral. Rendahnya kemampuan memfilter mana yang baik dan mana yang tidak baik inilah yang akan memunculkan berbagai tindakan penyimpangan anak-anak didik.
Contoh, rasa ingin tahu anak didik akan membuatnya mencari informasi melalui media komunikasi (internet). Manakala jiwanya gersang dari agama maka akan membuat anak didik justru melihat hal-hal yang berbau pornografi/aksi. Di saat itu pikirannya teransang dan dikuasai nafsu syahwat yang akan mendorongnya untuk mencoba-coba apa yang disaksikannya. Akhirnya, tindakan amoral/asusila pun terjadi dan sering dilakukan oleh anak-anak yang masih berumur dini.
Bila ditarik titik permasalahan yang signifikan terhadap munculnya dekadensi moral anak-anak hari ini adalah tidak maksimalnya pendidikan agama diajarkan kepada para siswa khususnya sejak usia di Sekolah Dasar (SD). Muatan pelajaran agama di Sekolah Dasar (SD) sangat minim untuk menjadi bekal mereka menghadapi kacau dan semrawutnya hiruk pikuk dunia ini.
Apalagi tenaga pengajar agama hanya mampu mengajar namun sedikit semangat dalam mendidik. Dalam artian, pemberian pendidikan agama hanya berbentuk kajian teoritis namun tidak diupayakan dalam bentuk praktis. Apa yang dilakukan para siswa di luar sekolah ini tidak menjadi perhatian para pendidik agama.
Dengan demikian, upaya praktis dalam mewujudkan nilai-nilai moral yang islami lewat pendidikan agama harus senantiasa diupayakan agar penanaman pendidikan agama betul-betul maksimal.
Sehingga para siswa mampu untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari lingkungan yang ada di sekitar mereka. Saat ini, kita sangat prihatin melihat dekadensi moral yang melanda usia anak-anak. Suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar bahwa pembekalan ilmu agama sejak dini harus dilakukan semaksimal mungkin. Catatan khusus bagi anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) yang merupakan dasar perpijakan menuju tangga yang lebih tinggi harus punya ilmu agama yang sangat memadai. Realitas hari ini, anak-anak usia SD sangat minim ilmu agamanya. Jadi, anak-anak SD harus dibekali ilmu agama lebih banyak. Salah satu yang bisa dijadikan solusi adalah revitalisasi Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) bagi anak-anak usia Sekolah Dasar (SD).
Pemerintah seharusnya sangat aktif melihat kondisi Madrasah tempat menanamkan dasar ilmu-ilmu agama ini. Selama ini, terkesan pemerintah memandang sebelah mata yang berakibat masyarakat juga menganggap sepele terhadap Madrasah. Seandainya pemerintah punya kebijakan bahwa anak-anak SD wajib mengikuti pendidikan agama di Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) tentu kondisinya akan berbeda. Apalagi kebijakan itu dilanjutkan dengan bahwa alumni Sekolah Dasar (SD) yang hendak memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) wajib menyertakan sertifikat kelulusan dari MDA akan lebib berbeda lagi kondisinya.
Intinya, pembekalan sejak dini ilmu agama terhadap anak-anak sangat signifikan. Pendidikan agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam meminimalisir dekadensi moral anak-anak hari ini. Besarnya tarikan pengaruh yang tidak baik dari lingkungan harus diimbangi dengan besarnya pendidikan agama kepada para peserta didik. Bila dampak pergaulan yang tidak baik tidak dicegah sedini mungkin maka akibatnya akan semakin bobroklah kualitas moral dan kualitas kelilmuan anak-anak ke depan. Wallahu a’lamu.

pendidkanmoral

Pendidikan merupakan salah satu alat untuk dapat membimbing seseorang menjadi orang yang baik terutama pendidikan agama. Dengan pendidikan agama akan membentuk karakter akhlakul karimah bagi siswa sehingga mereka mampu memfilter mana pergaulan yang baik dan mana yang tidak baik.
Khususnya terhadap para siswa Sekolah Dasar (SD) pendidikan agama sangat penting sebagai benteng sejak dini dari hal-hal yang tidak baik. Terlebih saat ini, realitas menunjukkan bahwa anak-anak usia dini sudah banyak terlibat dengan prilaku tidak baik, seperti tawuran, prilaku amoral/asusila, narkoba, pornografi dan pornoaksi dan lain-lain. Berdasarkan hasil survey Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan kita dan Buah hati menunjukkan bahwa 67 % siswa SD pernah mengakses pornografi melalui media komik dan internet.
Survey yang dilakukan meliputi 2.818 siswa SD kelas 4-6 di Indonesia sejak Januari 2008 s/d Februari 2010. Akibat lebih jauh dari minimnya pendidikan agama sejak SD, maka prilaku menyimpang di usia SMP semakin meningkat. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak merilis data bahwa 62,7 % remaja putri SMP di Indonesia sudah tidak perawan.
Hasil lain, ternyata 93,7 % siswa SMP dan SMA pernah berciuman, 21,2 % remaja SMP mengaku pernah aborsi dan 97% remaja SMP dan SMA pernah melihat film porno. Kenyataan ini seyogyanya menyadarkan kita untuk membekali anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) khususnya dengan dasar ilmu agama yang layak. Salah satu lembaga pendidikan yang sangat kompeten memberikan bekal pengetahuan agama bagi anak-anak usia SD adalah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA). Selama ini, mayoritas orangtua yang memiliki anak usia SD memandang sebelah mata bahkan tidak perduli dengan MDA karena dianggap tidak punya jaminan masa depan. Padahal, MDA adalah lembaga pendidikan agama Islam yang menanamkan prinsip-prinsip dasar ajaran agama Islam.

pendidkan islam


Islam adalah agama yang oleh umatnya diyakini mengandung seperangkat nilai dasar untuk menuntun kehidupan manusia guna mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Sebagai ajaran agama yang utuh dan lengkap, Islam tidak sekedar memberi atensi terhadap satu dimensi kehidupan, katakanlah jasmani semata tapi juga menekankan aspek rohani. Keduanya harus berada pada suatu keseimbangan (QS.al-Qashash (28):27).
Dari perspektif tersebut, maka Islam senantiasa memberi tempat bagi penghayatan keagamaan yang bersifat eksoteris (zhahir, lahiriyah) maupun esoterik (bathiniyah) sekaligus dengan tetap berpijak pada orbit keseimbangan. Artinya sikap ekstrimitas terhadap salah satu aspek semata bisa menimbulkan kepincangan dan menyalahi prinsip keseimbangan dimaksud.
Kendati demikian, pada kenyataannya prilaku penghayatan keagamaan umat Islam terbagi dua kelompok, yang satu menitik beratkan penghayatan keagamaan pada ketentuan-ketentuan luar (al-Ahkam al-Zhawair, yakni segi-segi lahiriah) dan satu kelompok lain, lebih menitik beratkan pada ketentuan "dalam" atau segi batiniyah.
Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Pendidikan diakui sebagai kekuatan yang juga dapat membantu manusia mencapai kemegahan dan kemajuan peradaban. Selain itu pendidikan memberikan bekal kepada manusia untuk menyongsong hari esok yang lebih cerah dan lebih manusiawi.
Persoalan pendidikan memang masalah yang sangat penting dan aktual sepanjang masa, karena hanya dengan pendidikan manusia akan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kapabelitas mengelolah alam yang dikaruniakan Allah kepada kita. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pendidikan sangat besar konstribusinya, baik dalam pembinaan moral, pensejahteraan dan bahkan membawa kemajuan suatu umat. Oleh karena itu, untuk mengukur kemajuan suatu umat atau bangsa dapat dilihat seberapa jauh tingkat pendidikannya.
Mengingat demikian urgennya pendidikan Islam, maka tela'ah di atas pendidikan Islam dan pembinaan etika moral generasi muda, menjadi hal yang sangat penting untuk diwacanakan tentunya dalam kerangka akademik. Sudah dipastikan bahwa ketika wacana tersebut mengemuka, maka permasalahan yang menyertainya adalah; apa urgensi pendidikan Islam, dan bagaimana pembinaan etika moral generasi muda.

etika moral

    Akhlak kepada Allah SWT dgn cara mencintai-Nya mensyukuri ni’mat-Nya malu kepada-Nya utk berbuat maksiat selalu bertaubat bertawakkal takut akan adzab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
    Akhlak kepada Rasulullah SAW dgn cara beradab dan menghormatinya mentaati dan mencintai beliau menjadi kaumnya sebagai perantara dalam segala aspek kehidupan banyak menyebut nama beliau menerima seluruh ajaran beliau menghidupkan sunnah-sunnah beliau dan lbh mencintai beliau daripada diri kita sendiri anak kita bapak kita dll.
    Akhlak terhadap Al Qur`an dgn cara membacanya dgn khusyuk tartil dan sesempurna mungkin sambil memahaminya menghapalnya dan mengamalkannya dalam kehidupan riil.
    Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri orangtua kerabat handaitaulan tetangga dan sesama mukmin sesuai dgn tuntunan Islam.
    Akhlak kepada orang kafir dgn cara membenci kekafiran mereka tetapi tetap berbuat adil kepada mereka berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya dan berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dgn syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
Akhlak terhadap makhluk lain termasuk kepada menyayangi binatang yg tidak mengganggu menjga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya dll. Krisis Akhlak Apabila norma-norma akhlak mulia tidak dijalankan dgn baik bahkan cenderung dilanggar maka akan terjadi apa yg dinamakan krisis akhlak. Sebagai contoh kami kemukakan data-data terjadinya perusakan akhlak terutama kepada para remaja berupa narkoba shabu-shabu putow heroin ganja ecstasi morphin dll. Sasarannya mulai dari anak-anak sekolah dasar sampai perguruan tinggi dari pengangguran sampai artis. Pengaruh buruk yg diperoleh adl dapat merusak hati dan otak meskipun pada tahap awal sipecandu merasa segar gembira fly tidak tidur dan merasa berani. Police watch Indonesia suatu LSM yg memantau keterlibatan polisi dalam jaringan penyimpangan menyebutkan bahwa 42% kasus narkoba terjadi dijakarta 58% terjadi diJawa Barat Bali Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur dan Sumatra Barat.
Jakarta Barat kawasan terbesar kasus narkoba krn dikawasan itu banyak terdapat tempat maksiat sisanya di Jakarta Pusat Jakarta Utara dan Jakarta Timur . Bahkan telah merambat kekota-kota kecil dan kampung-kampung.
Pembentengan dari krisis Akhlak Tentunya ummat Islam tidak berjaya kalau melepaskan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Makanya mereka harus kembali menghidupkan Islam sebagaimana yg telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya Imam Malik pernah meriwayatkan Artinya “Tidaklah berjaya akhir dari ummat ini melainkan berpegang dgn apa yg dipegang generasi pertama“.
Kita harus kembali menghidupkan masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam. Memperkuat daya tahan rumah tangga dari ancaman dekadensi moral termasuk film-film ysng bobrok menjaga disiplin dan keamanan sekolah serta memberikan lingkungan materi agama yg cukup serta menjaga daya tahan lingkungan masyarakat dari berbagai arus perusakan dan penyesatan sekaligus mengaktifkan pemerintah utk membentengi masyarakat dari berbagai bentuk kemaksiatan. Wallahu A`lam.

Rabu, 09 November 2011

moral menurut

Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.

Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.

Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.

Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.

Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir

moral dalam islam

Lima Nilai Moral Islam dikenal pula sebagai Sepuluh Perintah Tuhan versi Islam. Perintah-perintah ini tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-An'aam 6:150-153 di mana Allah menyebutnya sebagai Jalan yang Lurus (Shirathal Mustaqim ):
Tauhid (Nilai Pembebasan)
  1. Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan yang kamu haramkan ini." Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
Nikah (Nilai Keluarga)
  2. berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan saudara/i kita
  3. janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan
  4. janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji (homoseks, seks bebas dan incest), baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
Hayat (Nilai Kemanusiaan)
  5. janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
Adil (Nilai Keadilan)
  6. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
  7. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
  8. Dan apabila kamu bersaksi, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan
Amanah (Nilai Kejujuran)
  9. penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
  10. dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.
Janji Allah termasuk yang disebutkan dalam QS Al-Qur'an surat 36:60 dan 9:111.