Senin, 12 Desember 2011

perbankan di indonesia

Dalam konteks perbankan di Indonesia saat ini, pentingnya akhlak dalam dunia bisnis termasuk perbankan hendaknya dilakukan dengan membentuk sistem moralitas yang terpadu. Salah satu yang penting diperhatikan adalah sistem pengrekrutan pegawai perbankan seyogyanya sangat memperhatikan aspek akhlak sebagai aspek yang terpenting. Psikotes bagi pelamar pegawai bank hendaknya memasukkan “nilai aklak” dengan sistem yang terbentuk. Apalagi, bisnis perbankan adalah industri yang penuh resiko. Pengelolaan resiko tidak hanya dapat dihadapi dengan pengalihan resiko kepada bentuk lain.

Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia seyogyanya melakukan sistem supervisi yang berdimensi jangka panjang dan langggeng yang berlandaskan moralitas. Dalam sebuah wawancara dengan pejabat BI tentang masalah ini menunjukkan pejabat BI tidak mampu melihat akar persoalan secara utuh. Misalnya, ketika ditanya bagaimana penyelesaian resiko hilangnya dana nasabah bank, sebab banyak potensi resiko bank adalah tinggi seperti terjadinya pencurian oleh pihak karyawan. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan pengalihan resiko tersebut dengan cara mengasuransikan. Maksudnya, jika terjadi pencurian karyawan akan diganti oleh asuransi. Demikian juga dengan persoalan kasus tewasnya nasabah Citibank yang dilakukan oleh penagih utang. Dengan mudah, pejabat BI mengatakan pihak bank hendaknya memasang CCTV dalam ruang pertemuan. (Tempo, 2011).

Bahwa cara-cara yang dibuat oleh BI dapat saja dibenarkan dari sisi teknis pengelolaan resiko perbankan, seperti mengelola resiko pencurian uang dengan mengasuransikannya kepada pihak asuransi, demikian juga memasang CCTV pada setiap ruangan sehingga seluruh kejadian pada ruangan dapat dipantau. Namun apakah cara-cara seperti itu dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas?. Bukankah hal tersebut membuat kesan bahwa boleh saja seseorang melakukan tindakan penipuan sebab semua telah diasuransikan. Bukankah modus operandi pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat “lepas” dari pengawalan CCTV?

Oleh karena itu, penyelesaian kasus immoralitas perbankan harus dilakukan dengan membuat sistem yang berdimensi jangka pajang dan lebih bersifat preventif. Dalam hal ini sistem yang menjadi moralitas menjadi pilihan utama dengan berbagai cara yang bersifat teknis. Upaya untuk melakukan perekrutan pegawai dengan mementingkan moralty skill mutlak dilakukan, demikian juga melakukan penyegaran moralitas dalam sistem pegawai dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencerdasan spiritual quation dapat menjadi pilihan disamping tentunya memperbaiki sistem yang “bolong” yang terjadi selama ini. Wallahu’alam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar