Jumat, 23 Desember 2011
moral dalam serat kidungan sebagai refleksi kehidupan
Nilai moral sering dijumpai dalam sebuah karya sastra. Karya sastra dianggap bermakna jika mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam sebuah karya tidak terlepas dari pengaruh kehidupan pengarangnya. Dalam menuangkan pemikirannya, pengarang tidak bisa dilepaskan dari kondisi budaya, pendidikan, politik, agama, dan kehidupan sosialnya. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian adalah bagaimana pengarang merefleksikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Kidungan. Tujuan dalam kajian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengarang merefleksikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Kidungan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif menitikberatkan penulis sebagai pencipta sastra. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dianalisis menggunakan pendekatan ekspresif. Pendekatan ekspresif dipandang sebagai satu pendekatan penelitian yang menganalisis pengaruh pengarang dalam sebuah karya sastra. Pendekatan ekspresif dalam penelitian ini berupa analisis nilai-nilai moral dalam Serat Kidungan sebagai refleksi kehidupan pengarangnya yaitu Sunan Kalijaga. Hasil analisis yang diperoleh adalah bahwa pengarang mempunyai peran dominan dalam terciptanya sebuah karya sastra. Dalam Serat Kidungan, kehidupan Sunan Kalijaga sebagai penulisnya sangat mendominasi. Latar belakang agama, kebudayaan, dan keluarga menjadikan Sunan Kalijaga menulis Serat Kidungan yang berisi nilai-nilai moral yang bermanfaat bagi pembacanya. Nilai-nilai moral yang terkandung dalam Serat Kidungan terbagi menjadi dua jenis yaitu (1)nilai-nilai moral individual (pribadi) meliputi, 1)kepatuhan, 2)keteguhan hati, 3)kesabaran, 4)kehati-hatian, 5)kebertanggungjawaban, 6)kebijaksanaan, 7)kerendahatian, dan 8)kejujuran, (2)nilai-nilai moral sosial meliputi, 1)kebersamaan, 2)kepedulian sosial, 3)solidaritas, dan 4)kasih sayang. Serat Kidungan ditulis dalam konvensi puisi tradisional yang sebenarnya digunakan sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam pada masa itu. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dan tambahan referen dalam penelitian yang berhubungan dengan pendekatan ekspresif dalam serat yang berbentuk konvensi puisi tradisional, khususnya pemahaman mengenai pengaruh penulis terhadap nilai-nilai moral yang terkandung dalam sebuah Serat Kidungan. Bagi para pembaca sekalian hendaknya mengambil nilai-nilai moral yang tertulis terkandung dalam Serat Kidungan.
Senin, 12 Desember 2011
perbankan di indonesia
Dalam konteks perbankan di Indonesia saat ini, pentingnya akhlak dalam dunia bisnis termasuk perbankan hendaknya dilakukan dengan membentuk sistem moralitas yang terpadu. Salah satu yang penting diperhatikan adalah sistem pengrekrutan pegawai perbankan seyogyanya sangat memperhatikan aspek akhlak sebagai aspek yang terpenting. Psikotes bagi pelamar pegawai bank hendaknya memasukkan “nilai aklak” dengan sistem yang terbentuk. Apalagi, bisnis perbankan adalah industri yang penuh resiko. Pengelolaan resiko tidak hanya dapat dihadapi dengan pengalihan resiko kepada bentuk lain.
Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia seyogyanya melakukan sistem supervisi yang berdimensi jangka panjang dan langggeng yang berlandaskan moralitas. Dalam sebuah wawancara dengan pejabat BI tentang masalah ini menunjukkan pejabat BI tidak mampu melihat akar persoalan secara utuh. Misalnya, ketika ditanya bagaimana penyelesaian resiko hilangnya dana nasabah bank, sebab banyak potensi resiko bank adalah tinggi seperti terjadinya pencurian oleh pihak karyawan. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan pengalihan resiko tersebut dengan cara mengasuransikan. Maksudnya, jika terjadi pencurian karyawan akan diganti oleh asuransi. Demikian juga dengan persoalan kasus tewasnya nasabah Citibank yang dilakukan oleh penagih utang. Dengan mudah, pejabat BI mengatakan pihak bank hendaknya memasang CCTV dalam ruang pertemuan. (Tempo, 2011).
Bahwa cara-cara yang dibuat oleh BI dapat saja dibenarkan dari sisi teknis pengelolaan resiko perbankan, seperti mengelola resiko pencurian uang dengan mengasuransikannya kepada pihak asuransi, demikian juga memasang CCTV pada setiap ruangan sehingga seluruh kejadian pada ruangan dapat dipantau. Namun apakah cara-cara seperti itu dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas?. Bukankah hal tersebut membuat kesan bahwa boleh saja seseorang melakukan tindakan penipuan sebab semua telah diasuransikan. Bukankah modus operandi pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat “lepas” dari pengawalan CCTV?
Oleh karena itu, penyelesaian kasus immoralitas perbankan harus dilakukan dengan membuat sistem yang berdimensi jangka pajang dan lebih bersifat preventif. Dalam hal ini sistem yang menjadi moralitas menjadi pilihan utama dengan berbagai cara yang bersifat teknis. Upaya untuk melakukan perekrutan pegawai dengan mementingkan moralty skill mutlak dilakukan, demikian juga melakukan penyegaran moralitas dalam sistem pegawai dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencerdasan spiritual quation dapat menjadi pilihan disamping tentunya memperbaiki sistem yang “bolong” yang terjadi selama ini. Wallahu’alam.
Selanjutnya, Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas pengawasan bank di Indonesia seyogyanya melakukan sistem supervisi yang berdimensi jangka panjang dan langggeng yang berlandaskan moralitas. Dalam sebuah wawancara dengan pejabat BI tentang masalah ini menunjukkan pejabat BI tidak mampu melihat akar persoalan secara utuh. Misalnya, ketika ditanya bagaimana penyelesaian resiko hilangnya dana nasabah bank, sebab banyak potensi resiko bank adalah tinggi seperti terjadinya pencurian oleh pihak karyawan. Salah satu pilihannya adalah dengan melakukan pengalihan resiko tersebut dengan cara mengasuransikan. Maksudnya, jika terjadi pencurian karyawan akan diganti oleh asuransi. Demikian juga dengan persoalan kasus tewasnya nasabah Citibank yang dilakukan oleh penagih utang. Dengan mudah, pejabat BI mengatakan pihak bank hendaknya memasang CCTV dalam ruang pertemuan. (Tempo, 2011).
Bahwa cara-cara yang dibuat oleh BI dapat saja dibenarkan dari sisi teknis pengelolaan resiko perbankan, seperti mengelola resiko pencurian uang dengan mengasuransikannya kepada pihak asuransi, demikian juga memasang CCTV pada setiap ruangan sehingga seluruh kejadian pada ruangan dapat dipantau. Namun apakah cara-cara seperti itu dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas?. Bukankah hal tersebut membuat kesan bahwa boleh saja seseorang melakukan tindakan penipuan sebab semua telah diasuransikan. Bukankah modus operandi pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat “lepas” dari pengawalan CCTV?
Oleh karena itu, penyelesaian kasus immoralitas perbankan harus dilakukan dengan membuat sistem yang berdimensi jangka pajang dan lebih bersifat preventif. Dalam hal ini sistem yang menjadi moralitas menjadi pilihan utama dengan berbagai cara yang bersifat teknis. Upaya untuk melakukan perekrutan pegawai dengan mementingkan moralty skill mutlak dilakukan, demikian juga melakukan penyegaran moralitas dalam sistem pegawai dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencerdasan spiritual quation dapat menjadi pilihan disamping tentunya memperbaiki sistem yang “bolong” yang terjadi selama ini. Wallahu’alam.
kedudukan bisnis dalam aklak
Apa yang dimaksud dengan maoralitas bisnis dalam perspektif syariah?. Menurut Bukhari Alma, moralitas bisnis menurut Al-Quran dan hadis adalah nilai-nilai moral Islam yang berhubungan dengan aktifitas bisnis. Secara umum moralitas dalam bisnis Islam terdiri dari enam (6) prinsip utama, yakni kebenaran, kepercayaan, kejujuran, ketulusan, pengetahuan, dan keadilan. Tidak jauh berbeda dari itu, menurut Rafik Issa Beekum menjelaskan sistem etika Islam terdiri dari lima (5) konsep kunci, yaitu, keesaan, keseimbangan, kehendak bebas, tanggung jawab, serta kebajikan. Perbedaan mendasar moralitas bisnis Islami dengan moralitas bisnis non Islami adalah, jika landasan normatif etika bisnis islami adalah Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw., yang menjelaskan bahwa seluruh aktivitas bisnis dalam berbagai macam bentuknya tidak membatasi jumlah kepemilikan harta seseorang, baik barang maupun jasa, namun membatasi cara perolehan dan pemanfaatan harta tersebut yang dikenal dengan aturan halal dan haram, sedangkan landasan normatif moralitas bisnis non islami adalah hasil perenungan dari kitab-kitab suci yang mereka yakini, atau filsafat yang lahir dari perenungan mereka mengenai bagaimana menjalankan bisnis di atas landasan etika, namun tidak dibingkai aturan halal dan haram sebagaimana yang terdapat Islam. (A. Darussalam, 99).
Disinilah keunikan ekonomi Islam, berpadunya antara ekonomi dan akhlak, sampai-sampai Penulis Prancis dalam bukunya “Islam dan Perkembangan Ekonomi” mengakui bahwa Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi. Keduanya satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Disinilah keunikan ekonomi Islam, berpadunya antara ekonomi dan akhlak, sampai-sampai Penulis Prancis dalam bukunya “Islam dan Perkembangan Ekonomi” mengakui bahwa Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang aplikatif dan secara bersamaan mengandung nilai-nilai akhlak yang tinggi. Keduanya satu kesatuan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
moralitas dalam bisnis
Krisis kepercayaan terhadap bisnis perbankan saat ini sampai pada titik puncak. Kasus-kasus perbankan terkini ibarat puncak gunung es bobrok perbankan selama ini. Kasus-kasus tersebut memperlihatkann secara nyata kepada kita betapa bisnis perbankan penuh dengan corengan hitam immoralitas. Tentu masih segar diingatan kita tentang megaskandal bank century senilai 1,6 triliun rupiah yang sampai saat ini tidak jelas ujungnya. Dua minggu belakang dunia perbankan kembali tercoreng lewat dua skandal yang tak kalah besarnya yakni kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank yang diduga akibat aksi kekerasan debt collector (penagih utang) dan kasus “private banking” oleh Inong Malinda Dee pada bank yang sama.
Kasus terakhir ini memang masih dalam proses hukum, namun kasus dilakoni oleh senior relationship manager bank asing ini disinyalir telah menggelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah dengan bukti-bukti yang amat jelas, yakni sejumlah apartemen di jantung segi tiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lebih dari itu, kasus ini disinyalir tidak hanya terkait dengan masalah “privat banking” biasa, lebih jauh dari itu kasus ini juga terindikasi pencucian uang (money laundering) dan tidak tertutup kemungkinan kejahatan perbankan lainnya juga ikut serta bersamanya.
Menganalisis kasus-kasus perbankan yang terjadi, tentu banyak perspektif yang dapat diajukan terutama dari segi hukum perbankan. Dalam kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank (Irzen Octa) misalnya, benar bahwa setiap utang harus dibayar namun tentu caranya bukan dengan perbuatan melawan hukum dan perbuatan biadab. Dalam kasus megaskandal bank Century, banyak perspektif yang dapat diajukan dari mulai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak bank hingga aspek politik tingkat tinggi yang juga sangat kental mengitarinya. Sedangkan dalam masalah private banking lain lagi, dari mulai pelanggaran prosedur perbankan yang dinilai sebagai pelayanan istimewa kepada nasabah tertentu, sampai kepada kemungkinan terjadinya potensi pencucian uang (money laundering).
Terlepas dari berbagai perspektif yang dapat kita ajukan prihal problematika perbankan saat ini, namun yang penting ditegaskan bahwa persoalan moralitas adalah kunci utama penyebab hal ini semua. Sebaik apapun sistem, regulasi atau prosedur yang diterapkan dalam bisnis ini, moralitas pelaku bisnis adalah kunci segalanya.
Karena itulah, dalam bisnis (bahkan seluruh dimensi-dimensi kehidupan berdasarkan syariah) meniscayakan moralitas sebagai dasarnya. Moralitas atau akhlak (jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan antara moralitas dan akhlak, dalam tulisan ini disamakan) adalah prasyarat dalam menjalankan semua aktivitas dimensi kehidupan termasuk dalam bisnis.
Dalam khazanah sistem pendidikan dan dakwah, Rasulullah Saw. menyiapkan landasan moral lebih lama ketimbang sistem ibadah, hukum, sosial, tata negara dan seterusnya. Dari 23 tahun masa tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad Saw., 13 tahun pertama dihabiskan untuk menyiapkan landasan moral yang berlandaskan tauhid. Sampai-sampai penataan ibadah (dalam artian ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat) hanya ditata pada 10 tahun terakhir masa kerasulan.
Hal ini menunjukkan, dalam perspektif Islam bahwa landasan akhlak inilah yang menjadi kunci sukses-tidaknya seluruh dimensi kehidupan manusia. Shalat yang sangat berdimensi ibadah sekalipun dapat “dikorupsi” oleh orang yang tidak berakhlak, apakah dari segi waktu, substansi bahkan pelaksanaannya sendiri. Demikian pentingnya kedudukan akhlak dalam menata kehidupan.
Kasus terakhir ini memang masih dalam proses hukum, namun kasus dilakoni oleh senior relationship manager bank asing ini disinyalir telah menggelapkan sedikitnya Rp. 20 miliar uang nasabah dengan bukti-bukti yang amat jelas, yakni sejumlah apartemen di jantung segi tiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lebih dari itu, kasus ini disinyalir tidak hanya terkait dengan masalah “privat banking” biasa, lebih jauh dari itu kasus ini juga terindikasi pencucian uang (money laundering) dan tidak tertutup kemungkinan kejahatan perbankan lainnya juga ikut serta bersamanya.
Menganalisis kasus-kasus perbankan yang terjadi, tentu banyak perspektif yang dapat diajukan terutama dari segi hukum perbankan. Dalam kasus pembunuhan pemegang kartu kredit Citibank (Irzen Octa) misalnya, benar bahwa setiap utang harus dibayar namun tentu caranya bukan dengan perbuatan melawan hukum dan perbuatan biadab. Dalam kasus megaskandal bank Century, banyak perspektif yang dapat diajukan dari mulai kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pihak bank hingga aspek politik tingkat tinggi yang juga sangat kental mengitarinya. Sedangkan dalam masalah private banking lain lagi, dari mulai pelanggaran prosedur perbankan yang dinilai sebagai pelayanan istimewa kepada nasabah tertentu, sampai kepada kemungkinan terjadinya potensi pencucian uang (money laundering).
Terlepas dari berbagai perspektif yang dapat kita ajukan prihal problematika perbankan saat ini, namun yang penting ditegaskan bahwa persoalan moralitas adalah kunci utama penyebab hal ini semua. Sebaik apapun sistem, regulasi atau prosedur yang diterapkan dalam bisnis ini, moralitas pelaku bisnis adalah kunci segalanya.
Karena itulah, dalam bisnis (bahkan seluruh dimensi-dimensi kehidupan berdasarkan syariah) meniscayakan moralitas sebagai dasarnya. Moralitas atau akhlak (jika diurai lebih lanjut terdapat perbedaan antara moralitas dan akhlak, dalam tulisan ini disamakan) adalah prasyarat dalam menjalankan semua aktivitas dimensi kehidupan termasuk dalam bisnis.
Dalam khazanah sistem pendidikan dan dakwah, Rasulullah Saw. menyiapkan landasan moral lebih lama ketimbang sistem ibadah, hukum, sosial, tata negara dan seterusnya. Dari 23 tahun masa tugas kerasulan yang diemban Nabi Muhammad Saw., 13 tahun pertama dihabiskan untuk menyiapkan landasan moral yang berlandaskan tauhid. Sampai-sampai penataan ibadah (dalam artian ibadah mahdah, seperti shalat, puasa, zakat) hanya ditata pada 10 tahun terakhir masa kerasulan.
Hal ini menunjukkan, dalam perspektif Islam bahwa landasan akhlak inilah yang menjadi kunci sukses-tidaknya seluruh dimensi kehidupan manusia. Shalat yang sangat berdimensi ibadah sekalipun dapat “dikorupsi” oleh orang yang tidak berakhlak, apakah dari segi waktu, substansi bahkan pelaksanaannya sendiri. Demikian pentingnya kedudukan akhlak dalam menata kehidupan.
Selasa, 06 Desember 2011
peningkatan kematangan moral
Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ?
Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain : (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.
Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.
pendidikan moral dalam formal
Sumber daya manusia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangannya secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat
Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (Intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.
Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 )
Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari
tujuan dari pendekatan
pendekatan ini adalah memberi peluang kepada siswa agar bertidak secara personal ataupun sosial berdasarkan kepada nilai-nilai mereka, mendorong siswa agar memandang diri mereka sendiri sebagai makhluk yang tidak secara otonom interaktif dalam hubungan sosial personal, tetapi anggota suatu sistem sosial. Metode yang dapat digunakan dalam pendekatan ini adalah metode-metode didaftar atau diurutkan untuk analisis dan klarifikasi nilai, proyek-proyek di dalam sekolah dan praktek kemasyarakatan, keterampilan praktis dalam pengorganisasian kelompok dan hubungan antar pribadi.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah oleh guru saja. Ini dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat.
Diantara ketiganya, merujuk pada Dobbert dan Winkler (1985), lingkungan keluarga merupakan faktor dominan yang efektif dan terpenting. Peran keluarga dalam pendidikan nilai adalah mendukung terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan, dan reproduksi langsung dari nilai-nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga.
Lingkungan keluarga menjadi lahan paling subur untuk menumbuhkembangkan pendidikan moral. Secara operasional, yang paling perlu diperhatikan dalam konteks di lingkungan keluarga adalah penanaman nilai-nilai kejujuran dalam segenap aspek kehidupan keluarga. Contoh sikap dan perilaku yang baik oleh orang tua dalam pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Hal yang tidak kalah penting, pendidikan moral harus dilaksanakan sejak anak masih kecil dengan jalan membiasakan mereka kepada peraturan-peraturan dan sifat-sifat yang baik, serta adil. Sifat-sifat tersebut tidak akan dapat difahami oleh anak-anak, kecuali dengan pengalaman langsung yang dirasakan akibatnya dan dari contoh orang tua dalam kehidupannya sehari-hari.
Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama yang harus ditanamkan sejak kecil.
Lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mental serta moral anak didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan mental, moral sosial dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dipertautkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.
Langganan:
Postingan (Atom)